LADUNI
Oleh: Qoniatul
maghfiroh
Menghitung
detak-detak jam yang terus berputar. Berharap putarannya semakin melambat. Hatiku berdesir-desir. Keringat dingin mulai
membanjiri telapak tangan dan dahiku. Sekarang sudah sampai nomor absen keempat
belas. Tiga nomor lagi Ustadz Rozaq akan memanggilku. Memberiku kitab Fathul Qorib, kemudian menyuruhku
membaca dan menerjemahkannya. Entah, kali ini aku akan berhasil atau tidak. Aku
sudah belajar sekuat tenaga. Mencoba menghafal lafal dan terjemahan beberapa Bab.
Tapi percuma, beliau tidak pernah memberi tahu terlebih dahulu Bab mana atau
halaman berapa yang akan disuruh membaca.
Duduk di bangku sudut kanan paling
belakang. Adalah Gus Kholis. Berbanding terbalik denganku. Dia malah
enak-enakan tidur. Tangan dan kepala berselonjor ke bangku. Air liurnya menetes. Begitu damai tidurnya. Menghadapi
Ustadz Rozaq bukanlah suatu ancaman baginya. Tanpa susah-susah belajar, dia sudah
pasti akan bisa.
“Nomor absen delapan belas, Muhammad
Sholihuddin, segera maju ke depan!” Akhirnya Ustadz Rozaq memanggil namaku.
Dengan lutut lemas dan tak bertenaga aku berjalan gontai ke arah beliau. “Buka
halaman empat puluh sembilan, baris ketiga!”
“Bismillahi,
kelawan nyebut asmane Allah, Ar Rohmani, Dzat kang welas asih ing dalem dunyo
lan akherat, Ar Rohiimi, tur Dzat kang welas asih ing dalem akherat beloko…”
(Bismillahi,
dengan menyebut nama Allah, Ar Rohmani, Dzat yang Maha Pengasih di dunia dan
akhirat, Ar Rohiimi, juga Dzat yang Maha Penyayang di akhirat saja). Kemudian
senyap. Aku tidak bisa melanjutkan kalimatku. Hanya Basmalah yang bisa kubaca.
“Ayo, lanjutkan!” seru Ustadz Rozaq. Semua mata memandangku dengan berbagai macam ekspresi. Kucoba
merangkai harakat untuk huruf-huruf Arab yang berderet di atas kertas kuning
itu. Namun aku tetap tidak bisa. Bahkan kulihat huruf-huruf itu malah berhamburan,
keluar dari barisan-barisannya. Melompat-lompat tanpa satupun dapat kutangkap. Dan
seperti biasa, aku dihukum berdiri di depan kelas hingga jam pelajaran
berganti. Sedangkan Gus Kholis, bangun dengan wajah tanpa dosa begitu namanya
dipanggil. Mengelap air liur, kemudian
membaca kitab itu tanpa kesulitan sama sekali. Sungguh, bagiku Tuhan tidak
adil.
Para santri menyebut apa yang dialami oleh Gus Kholis itu adalah pengaruh
Ilmu Laduni. Ilmu yang didapat langsung dari Allah melalui sebuah Ilham. Jadi
tidak perlu susah-susah belajar. Katanya
hal ini wajar. Kiai Mahsun, Abahnya Gus kholis adalah seorang Kiai sepuh yang mempunyai wibawa tinggi.
Konon Ilmu Laduni hanya bisa didapat oleh orang-orang yang sangat dekat dengan
Allah. Barangkali Gus Kholis itu terkena imbas oleh karomah Abahnya.
“Apakah Ilmu Laduni itu bisa di
pelajari, Kang?” suatu saat aku bertanya pada Kang Hasan. Seorang santri senior
di pesantren ini.
“Aku tidak tahu, yang aku tahu Ilmu
Laduni atau Ilmu Kasyaf itu hanya diberikan pada hamba-hamba Allah yang
terpilih. Mereka adalah orang-orang yang takut kepada Allah, mengamalkan ilmu
yang diketahui, tidak mencintai dunia, suka berdo’a dan berdakwah. Kenapa tiba-tiba
sampeyan bertanya seperti itu? Iri
sama Gus Kholis ya? Sudah, sampeyan
belajar saja yang rajin. Sebongkah batu saja bisa berlubang jika ditetesi air
terus-menerus, apalagi otak manusia, jika dipakai belajar terus menerus, pasti
akan ada hasilnya,” jawab Kang Hasan seraya menceramahiku. Rupanya dia bisa membaca
pikiranku, kalau aku juga ingin punya Ilmu Laduni.
Dalam hati aku merenungi kata-kata
Kang Hasan. Bukan di bagian dia menyuruhku belajar. Tapi bagian dimana dia
menyebutkan kriteria hamba Allah yang mendapatkan Ilmu itu. Dalam beberapa hal,
menurutku, Gus Kholis belum termasuk hamba yang sangat sholeh. Dia seperti
kebanyakan santri lain. Kadang-kadang membolos tidak ikut mengaji, mencuri-curi
kesempatan untuk merokok, dan tak jarang pula misuh kalau sedang bercanda. Tidak ada hal yang istimewa. Bahkan
dia cenderung bandel dan cengengesan. Aku jadi bertanya-tanya, apakah Ilmu
Laduni itu bisa diturunkan dari Orangtua? Beruntung benar nasibnya. Kadang
timbul niatku untuk bertanya sendiri kepada Gus Kholis. ’Benarkah desas-desus
yang beredar itu? Jika tidak benar, bagaimana dia bisa menerjemahkan
bermacam-macam kitab gundul? Padahal dia jarang mengikuti pengajian, tidak pernah
sekalipun terlihat belajar. Kalau bukan Ilmu Laduni, Ilmu apa yang dia punya?’
pertanyaan-pertanyaan seperti itu selalu timbul tenggelam. Timbul ketika Gus
Kholis tidak ada, dan tenggelam ketika berhadapan langsung dengannya. Rasa sungkanku masih terlalu tinggi untuk
dikalahkan.
***
Malam yang dingin dengan tiupan angin lumayan kencang. Aku masih duduk-duduk bersandar di tiang teras kamar.
Memandang langit yang menggendong bulan sabit dalam pelukannya. Bintang
bersinar sedikit-sedikit. Sebagian mengintip-intip dari sela-sela rumpun bambu.
Saat ini mungkin sudah pukul sebelas. Aku tidak tahu persis karena tidak
melihat jam. Banyak santri yang belum tidur. Ada yang mengaji Al Qur’an,
hafalan imriti, belajar, dan tidak
sedikit pula yang bergerombol-gerombol sekedar bergurau dan duduk santai. Hanya
aku yang tidak punya kegiatan selain melamun seperti ini.
”Jangan
melamun saja, Shol, nanti kerasukan jin barongan
lho! Gabung sama kita di sini, Acong punya cerita menarik!” teriak Habib dari
depan kamar Al Ghozali yang terletak di paling ujung. Ada sekitar delapan orang
di sana, semuanya teman-teman sekelasku.
”Yo, suwun Rek, sudah terlanjur asyik. Lanjut saja ceritanya!” jawabku
juga setengah berteriak. Aku sedang malas bergurau bersama mereka. Dadaku
bergemuruh. Cuaca buruk melanda hati dan pikiranku. Satu bulan lagi ujian Dinniyah berlangsung. Aku tidak yakin
nanti bisa melewatinya dengan baik.
Nahwu, Shorof, Balaghoh, Manteq, Faroidl, Akhlaq, Fiqih, Tafsir, dan Hadits.
Semua pelajaran itu sangat rumit bagiku.
Ujian
semester lalu, aku banyak mendapatkan remidi akibat nilaiku rata-rata maksimal
empat. Bapakku marah habis-habisan. Kalau sedang marah, tak jarang Bapak
mengungkit-ungkit, betapa sengsaranya beliau bekerja siang dan malam. Hanya
karena ingin anaknya masuk pesantren dan tetap bertahan di sana sampai ujian
akhir. Aku yang kerjanya hanya belajar saja masak tidak beres. Jika nilaiku
buruk lagi dan tidak naik kelas, maka bukan tidak mungkin bagi Bapak untuk memboyongku
pulang dan menyuruhku menggembala kambing. Entah apa salahku? Padahal aku juga
sudah belajar seperti teman-teman pada umumnya. Kenapa ilmu-ilmu itu tidak mau
menempel di otakku? Apa ada uang haram dari Bapak yang dikirimkan untukku?
Astaghfirullah! Aku tidak boleh su’udzon
seperti ini.
Angin
semakin kencang bertiup, membuat rumpun bambu di samping halaman pesantren
berderak-derak. Meliuk-liuk seakan mau roboh. Kurapatkan sarung yang membungkus
tubuhku. Sepertinya malam ini aku tidur di musholla saja. Di sana satu-satunya
tempat yang memiliki karpet hangat. Kulitku tidak boleh bersetubuh dengan ubin
kamar kali ini. Aku tidak mau masuk angin.
***
Waktu berjalan terus tanpa mau
mundur. Hampir seminggu aku menjadi seorang yang pemurung. Rasa pesimisku
semakin membuatku tidak konsentrasi belajar. Kubuka kalender yayasan yang
menempel di dinding kamar. Tanggal ujian sudah kulingkari dengan spidol merah.
Kurang tiga minggu lagi. Waktuku semakin sempit. Hmm! Baiklah, aku tidak boleh
berdiam diri terus-menerus seperti ini. Aku harus berbuat sesuatu. Aku harus
menemui Gus Kholis.
Kutelusuri sudut demi sudut pesantren.
Dari musholla, seluruh kamar santri, kamar mandi, sumur, bahkan tempat jemuran.
Namun yang kucari tidak ada. Kemana perginya Gus Kholis
saat jam tidur siang begini? Aku juga sempat bertanya pada teman-teman lain.
Tidak ada satupun yang tahu. Pesantren ini tidak terlalu besar, dan tidak ada
tempat tersembunyi. Seharusnya tidak sulit jika mau mencari seorang saja.
Kecuali dia sedang pergi keluar. Apa? Pergi keluar? Menurut peraturan
pesantren, para santri dilarang pergi keluar saat jam tidur siang. Semua harus
berada di dalam pesantren. Ah, lagi-lagi Gus Kholis melakukan pelanggaran. Dia
tidak jera meskipun kepalanya sering kena gundul.
Capek mencari Gus Kholis. Kuputuskan untuk kembali ke musholla. Di sana, tempat
sudah hampir penuh oleh para santri yang tidur berjajar-jajar seperti jemuran
ikan asin. Belum sempat kurebahkan tubuhku. Kulihat seseorang mengendap-endap
masuk dan mencari sela untuk tidur. Nah, bukankah itu Gus Kholis?
”Gus! Disini masih kosong,” aku
menunjukkan tempat yang agak longgar disampingku. Lalu dia berjalan hati-hati
ke arahku. Khawatir menginjak orang tidur. Begitu dia dekat, kucium bau rokok
yang menyengat dari baju dan nafasnya.
”Ada apa? Bau rokok, ya? Ffuuhh..” dia bertanya kemudian
meniupkan bau mulutnya ke wajahku. Kurang ajar sekali.
”Hhff.. Iya, dari tadi saya
mencari-cari sampeyan lho, Gus! Saya
ingin bertanya sesuatu. Begini, langsung saja. Mmm.. Apa benar sampeyan itu.. mm.. sampeyan itu.. punya Ilmu Laduni?” tanyaku agak ragu-ragu.
Tiba-tiba wajahnya berubah menjadi sangat serius. Aku tidak pernah melihat
wajahnya seserius ini.
”Wallahu A’lam!” jawabnya singkat
dan sama sekali tidak memberikan pencerahan.
”Saya ini serius lho, Gus! Mbok ya tolong di jawab dengan serius
juga,” aku masih terus mendesak.
”Buat apa sampeyan bertanya seperti itu?”
”Saya kan, juga kepingin pintar
seperti sampeyan. Tolong ajarkan saya
cara mendapatkannya, Gus. Kalau
punya Ilmu seperti itu, mbok ya di
tular-tularkan sama saya.”
”Sampeyan
ini kok aneh-aneh, saya ini juga tidak bisa apa-apa. Saya hanya mendapatkan
Ilmu yang di turunkan Abah kepada saya. Tidak Lebih.”
”Berarti benar bahwa Ilmu Laduni itu
bisa di turunkan? Sungguh beruntung sampeyan,
Gus.. Tidak dhedhel seperti saya
ini,” aku semakin merasa rendah diri saja.
”Bukan, bukan begitu. Tapi
ngomong-ngomong, apa sampeyan
benar-benar ingin punya Ilmu Laduni?”
Ada sedikit harapan terkembang, ”Benar, Gus.. Saya ingin
sukses dalam ujian Dinniyah nanti.
Bapak mengancam akan memboyong saya pulang jika tidak naik kelas. Di rumah,
saya di suruh angon wedhus!”
”Hahahaa.. lucu juga Bapak sampeyan itu. Syarat untuk mendapatkan
Ilmu Laduni itu berat, lho.. Apa sampeyan
sanggup?”
Mendengar kalimat itu, hatiku agak
sedikit lapang. ”Saya akan berusaha sebisa mungkin untuk melakukan syaratnya,
Gus.. Saya sudah tidak punya jalan lain.” sejurus kemudian kulihat Gus Kholis
tampak berfikir keras. Sepertinya dia mempertimbangkan kemauan kerasku.
”Karena sampeyan memaksa, baiklah,
dengarkan baik-baik, jangan disela! Saya tidak akan mengulangi ucapan saya
sampai dua kali. Pertama, sampeyan
harus puasa mutih selama tujuh hari
tujuh malam. Kedua, setiap malam
hanya boleh tidur selama dua jam. Ketiga,
sholat lima waktu harus berjama’ah, dan setiap selesai sholat baca surat yasin
sebanyak tujuh kali. Keempat, jangan tinggalkan
sholat tahajjud dan baca wirid sebanyak yang sampeyan hafal sampai adzan subuh
berkumandang. Yang terakhir, ketika malam telasan
sampeyan tidak boleh tidur sama sekali. Adzan maghrib hanya boleh berbuka
segelas air putih. Kemudian melekan di
tepi sungai belakang pondok. Tidak boleh mengajak siapa-siapa. Harus sendirian.
Bacalah dzikir terus menerus sampai adzan subuh berkumandang. Sudah, itu saja! Ada
yang ditanyakan lagi? Satu pertanyaan saja..”
Aku berfikir sejenak, ”Kenapa harus melekan di tepi sungai, Gus? Sendirian,
lagi..”
”Apakah sampeyan mau Ilham itu didengar orang lain? Pokoknya tunggu saja
sampai subuh sambil membaca dzikir terus-menerus. Nanti akan ada suara-suara
ghoib yang akan membisiki sampeyan.”
”Begitu, ya? Terimakasih, Gus..
Insya Allah akan saya laksanakan dengan sebaik-baiknya,” aku tersenyum sangat
puas. Kupandangi langit-langit musholla dengan hati berbunga-bunga. ”Gus,
sekali lagi, terimakasih sebelumnya. Saya...” belum sempat kulanjutkan bicara,
Gus Kholis sudah tidur dengan begitu pulasnya.
***
Puasa mutih artinya ketika sahur dan berbuka hanya diperbolehkan makan
nasi putih dan minum air putih saja. Maka otomatis aku dilarang minum kopi
karena warnanya hitam. Ternyata syarat itu tidak semudah yang aku bayangkan. Berat
rasanya mengingat setiap malam aku hanya diperbolehkan tidur selama dua jam. Siang
harinya, bisa dipastikan aku mengantuk ketika kegiatan-kegiatan pesantren
berlangsung. Tubuhku sangat
letih. Tidak ada asupan gizi sama sekali dari makanan-makananku. Namun hal itu
tidak menyurutkan semangatku untuk berhenti. Aku harus fokus dengan tujuanku.
Akibat sering mengantuk dan tertidur
di kelas. Aku semakin tertinggal banyak pelajaran. Lagi-lagi Ustadz Rozaq
menghukumku. Bahkan ustadz-ustadz yang lain juga memberiku sangsi ketika
mengetahuiku tertidur saat jam pelajarannya berlangsung. Kuterima hukuman demi hukuman dengan pasrah dan lapang
dada. Toh pada saatnya nanti aku akan mendapatkan imbalannya. Aku akan membuat
mereka tercengang dengan kecerdasanku yang tiba-tiba. Ibarat pepatah lama
mengatakan ’berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian, bersakit-sakit dahulu,
bersenang-senang kemudian’.
Singkat cerita, setelah melewati
berbagai macam cobaan dan terpaan yang menghadang. Akhirnya aku dipertemukan juga dengan malam telasan. Aku sangat penasaran. Bagaimana
sih, suara Ilham itu? Dia bersuara laki-laki tua yang berat, atau bersuara
lembut perempuan? Apakah suara-suara ghoib itu akan menampakkan wujudnya? Jika laki-laki
tua, apa setua Dumbledore dalam film Harry Potter? Jika perempuan, apa secantik Pretty Zhinta dalam
film-film India? Imajinasiku melambung di atas awan. Biar pikiranku tidak
semakin melantur kemana-mana, aku membaca dzikir dan Sholawat Nabi sembari
menunggu bedug maghrib bertalu. Di depanku sudah tersedia segelas air putih
yang akan melepas dahagaku. Sebenarnya tubuhku sedikit demam. Tapi aku tidak
memperdulikannya. Aku tidak boleh menyerah di perjuangan terakhirku. Aku yakin,
ini pasti akan mudah untuk dilewati.
”Allahu Akbar.. Allahu Akbar..” tak
kuasa aku menahan tangis mendengar adzan maghrib berkumandang. Ya allah, aku
hampir berhasil. Segera kuusap air
mata dan kuminum segelas air putih di
depanku pelan-pelan. Aku sangat menikmatinya. Setelah ini aku akan melanjutkan
puasa lagi hingga subuh menjelang. Sudah kupersiapkan pakaian terbaikku. Kopyah
putih, baju koko putih dan sarung berwarna biru bermotif kotak-kotak. Aku harus
tampil sempurna pada malam bersejarah dalam hidupku. Malam inilah yang akan
merubah hidupku dari seorang Sholi yang
bodoh menjadi seorang Sholi yang sangat cerdas.
Pengajian malam baru berakhir pada
pukul sepuluh lebih tiga puluh menit. Tanpa menunggu ucapan salam penutup dari Ustadz,
aku bergegas menyelinap keluar. Pintu belakang pesantren sudah dikunci.
Terpaksa aku harus melompat lewat pagar. Barang bawaanku yakni sajadah lebar, tasbih,
korek api, lilin dan obat nyamuk bakar, sudah kubungkus plastik hitam. Aku benar-benar sudah siap dengan apapun yang bakal
terjadi. Tidak peduli dengan kabar santer yang beredar. Bahwa sungai di
belakang pondok itu tempatnya sangat angker.
Bugh..! Aku terjatuh cukup keras. Kakiku terkilir
sedikit. Kegelapan segera menyergapku. Kunyalakan lilin (sayang aku tidak punya
senter) untuk menerangi jalan. Jarak
antara pagar pembatas pesantren dan bibir sungai sekitar lima puluh meter.
Jalan setapak menuju kesana melewati tempat pembuangan sampah dan kebun
singkong yang sangat lebat. Di sela- sela kebun singkong, tumbuh juga beberapa
pohon pisang. Dengan sedikit terpincang-pincang, kulanjutkan perjalananku.
Hembusan angin seringkali membuat nyala lilinku mati untuk kemudian kunyalakan
lagi.
Sesampainya aku di tepi sungai yang
dimaksud, kugelar sajadahku di tempat yang agak landai dan lebar. Tempat itu persis di bawah pohon asam yang menjulang
rindang. Para nyamuk dengan suka cita menyambut kehadiranku. Nyanyiannya
berdengung-dengung. Kunyalakan obat nyamuk bakar yang kubawa. Namun asapnya tak
dapat menghalau pasukan nyamuk yang begitu banyaknya. Seandainya aku tahu siapa
jenderalnya, pasti akan kutangkap dan kubunuh dengan kejam di hadapan mereka.
Dengan begitu, pasukan nyamuk yang lain pasti akan mundur dan kabur. Sementara
itu tubuhku semakin meriang dan gatal-gatal. Suara-suara jangkrik ramai
bersahutan. Seolah menertawaiku yang tersiksa dan kedinginan.
Detik demi detik berlalu menuju
menit demi menit. Menit demi menit berlalu menuju jam demi jam. Sudah tiga jam aku duduk bersila
menunggu. Mulutku sampai pegal membaca berbagai macam do’a dan dzikir. Kulihat
jam yang melingkar di pergelangan tanganku. Pukul setengah dua persis. Belum
ada tanda-tanda suara-suara ghoib itu muncul. Tenggorokanku kering dan perutku
keroncongan. Apakah aku tidak berhasil? Belum. Adzan subuh belum berkumandang.
Aku masih harus terus menunggu. Kesabaranku hanya sedang di uji. Aku harus
sholat tahajjud sekarang.
Kuambil air wudhu di sungai. Airnya
sangat dingin membuat semua bulu kudukku berdiri. Maka aku bergegas
menyelesaikannya tanpa berlama-lama. Segera kutunaikan sholat tahajjud. Rokaat
pertama hingga ketiga, aku masih mampu menyelesaikan dengan sempurna. Giliran
tiba di rokaat keempat, rasanya aku sudah tidak sanggup untuk berdiri. Tidak.
Aku harus menyelesaikannya sampai salam. Dingin. Angin semakin nakal
menghempas-hempas tubuhku. Bersamaan dengan itu, datang ribuan kunang-kunang.
Berputar-putar mengelilingi kepalaku. Semakin lama semakin banyak. Kemudian
gelap.
***
Samar-samar kudengar ada suara orang
membaca Al Qur’an di sampingku. Suara yang sangat kukenal. Itu adalah suara Gus
Kholis. Perlahan kubuka mata, kepalaku
masih pusing. Tenggorokan terasa sangat
gatal dan membuat aku terbatuk. Rupanya aku sudah berada di dalam kamar.
Oh, apakah aku berhasil? Aku tidak dapat mengingat satupun bisikan Ghoib yang
di janjikan Gus Kholis terhadapku.
”Sampeyan
sudah sadar?” suaraku tidak mau keluar
saat akan menjawab pertanyaan darinya. Aku pun hanya mengangguk. ”Sudah, jangan
di paksakan untuk menjawab. Minum ini dulu kemudian dengarkan saya”.
Gus
Kholis memberiku segelas air putih kemudian melanjutkan pembicaraannya lagi.
”Perlu sampeyan ketahui,sebenarnya
saya tidak punya Ilmu Laduni. Dari kecil saya sudah sering ikut Abah mengaji, jadi kitab-kitab itu memang sudah tidak asing lagi bagi saya. Sudah
melekat di kepala. Mohon maaf sudah membuat sampeyan
kecewa. Saya hanya ingin menguji sampeyan
tok. Ternyata sampeyan ini bodoh beneran. Bagaimana bisa pintar kalau tidak mau
belajar? Ingat hal ini baik-baik. Jika
sampeyan mau minta bantuan saya untuk
belajar. Datang saja kapan pun sampeyan
mau. Insya Allah saya akan bantu. Sudah, sekarang sampeyan lanjutkan
istirahatnya. Saya mau mencuci baju dulu.”
Mendengar
penjelasan itu, aku hanya diam saja. Suaraku hilang entah kemana. Rasanya kamar ini semakin
lama semakin sempit. Ribuan kunang-kunang datang lagi, semakin lama semakin
banyak. Berputar-putar mengelilingi kepalaku. Ah, lagi-lagi gelap.*
Lamongan,
19 September 2011
*Teruntuk suamiku tercinta, terimakasih atas
segala support dan kasihnya. I lop yu pull.. J
Catatan :
Fathul Qorib :
kitab yang mempelajari Ilmu Fiqih.
Sepuh : Tua
Misuh :
Berkata kotor
Kitab Gundul :
kitab berbahasa Arab yang tidak berharakat.
Barongan :
Rumpun bambu
Imriti : Salah
satu kitab untuk pelajaran Nahwu.
Suwun, Rek: Terimakasih,
Kawan.
Dinniyah :
Keagamaan / sekolah khusus untuk santri yang mengajarkan pelajaran-pelajaran
kegamaan.
Su’udzon :
Berprasangka buruk.
Angon wedhus :
Menggembala kambing.
Mondok :
Belajar di pesantren.
Dhedhel :
Bodoh
Mutih : Putih
/ Memutih.
Telasan :
Terakhir / penghabisan.
Melekan :
Terjaga / tidak boleh tidur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar