SENYUM UNTUK
KAK MIRA
Oleh : Qoniatul
Maghfiroh
Hari minggu ini, aku sangat kesal.
Kak Mira menyuruhku membantunya mencuci baju. Padahal tugasku dari sekolah
sangat banyak.andaikan ada Ibu di sini, tentu aku tidak perlu repot-repot
membantu Kakak. Aku benci Ibu. Dia meninggalkan kami begitu saja tanpa kabar,
sejak dua tahun yang lalu. Aku, Bapak, Kak Mira, dan dua orang adik kembarku,
Riffa dan Raffi.
Namaku Rara Selviana, duduk di kelas
lima. Kak Mira sudah SMP kelas tiga, dan dua adik kembarku masih SD kelas dua.
Selain bermain, aku harus banyak belajar! Bukankah tugas seorang siswa itu
hanya belajar? Aku pernah mendengar itu dari guruku. Bagiku, tidak boleh ada
peringkat dua dalam raporku.
Di kelas, teman-teman mengenalku
sebagai anak yang pendiam dan susah tersenyum. Menurutku, buat apa banyak
bicara? Buat apa tersenyum? Aku tidak bahagia. Jadi, aku tidak mau berbohong
soal perasaanku. Yang penting, aku pintar dan tidak ada teman-teman yang
menyaingi nilai-nilaiku. Apakah menurutmu aku sombong?
Jika tidak karena kasihan pada Bapak
yang bekerja seharian sebagai petugas kebersihan, aku tidak sudi membantu Kak
Mira. Sebagai pengganti Ibu, dia seharusnya yang bertanggung jawab mengurus
kami.
Setahuku, nilai-nilai rapor Kak Mira
tidak pernah bagus. Angka-angkanya selalu pas-pasan. Paling bagus, delapan. Itu
pun hanya satu dua. Kak Mira payah, dia tidak bisa memberikan contoh yang baik
pada adik-adiknya. Riffa dan Raffi tidak boleh meniru Kak Mira. Mereka juga
harus bisa berprestasi seperti aku. Kalu ditanya pekerjaan rumah apa yang
paling senang aku lakukan? Jawabku pasti menemani adik-adikku belajar. Karena
cita-citaku ingin menjadi seorang guru.
“Rara! Cepat cuci bajumu! Nanti
kalau kesiangan cucian tidak akan kering!” teriakan Kak Mira dari dapur membuyarkan
lamunanku. Memang, kalau sore biasanya hujan. Tetapi aku, kan, malas!
Aku lihat Kak Mira sangat sibuk di
dapur. Dia terbiasa bangun lebih pagi untuk membuatkan kami sarapan. Aku
melewatinya begitu saja dengan wajah cemberut.
“Selamat pagi, adik cantik! Tidak
mau sarapan dulu?” tanya Kak Mira.
“Tidak, aku belum lapar,” jawabku
berbohong. Padahal aku sudah lapar.
“Ya sudah, Kakak tunggu, ya?”
Aku hanya diam.
“Ayolah, jangan cemberut begitu.
Kan, hanya cucianmu saja. Tidak banyak kok, please.. bantu Kakak, ya?”
pinta Kak Mira memelas. Mau tidak mau, akhirnya aku pun mencuci.
Sebenarnya, Kak mira itu baik,
jarang sekali marah padaku. Sifatnya yang penyabar sangat mirip dengan Ibu.
Huh, hatiku sakit kalau ingat Ibu. Dulu, aku selalu membangga-banggakan Ibuku
yang cantik, baik, dan penyayang. Tetapi sekarang tidak, karena Ibu jahat telah
meninggalkan kami!
Hari Senin, ada pelajaran bahasa
Indonesia. Bu Rida memberikan tugas mengarang satu paragraf dengan tema ‘Ibu’.
Hari Senin depan, tugas itu harus dikumpulkan. Nah, aku bingung! Meskipun hanya
satu paragraf, tidak mungkin aku menuliskan tentang kebencianku terhadap Ibu.
Biasanya, nilai mengarangku selalu medapat sembilan. Kata Bu Rida, aku berbakat
menulis. Sekarangapa yang harus aku tulis?
Pulang sekolah, Riffa dan Raffi
sudah menungguku untuk makan siang. Mereka pulang duluan, sedangkan Kak Mira
belum pulang. Katanya ada les pelajaran tambahan. Karena aku amsih belum lapar,
maka aku hanya menyiapkan makanan untuk dua adikku itu. Kemudian, aku bergegas
masuk ke kmar dan berganti pakaian.
Ketika aku menata buku, secara tak
sengaja aku menemukan buku harian Kak Mira. Aneh! Sebelumnya, aku tidak pernah
tahu kalau Kak Mira punya buku harian. Aku tidak pernah tahu kalau Kak Mira
punya buku harian. Aku tidak pernah melihatnya. Karena penasaran, aku pun
membuka dan membacanya.
Ibu, kapan Ibu pulang? Pulanglah,
aku tidak pernah membenci Ibu. Karena bagaimanapun, Ibu adalah orang yang telah
melahirkanku. Tanpa Ibu, aku tidak bisa terlahir di dunia ini.
Sekarang, aku sudah kelas 3 SMP,
sebentar lagi akan Ujian Nasional. Do’akan aku, Bu! Aku tidak bisa banyak
belajar karena harus mengurus adik-adik di rumah. Rara jarang mau membantuku, sementara Riffa dan Raffi masih
kecil. Tetapi, syukurlah, Rara selalu membuatku bangga. Prestasinya tidak
pernah menurun. Dia sangat terpukul dengan kepergian Ibu.
Sejak Ibu pergi, dia kehilangan
senyumnya. Padahal, Ibu tahu, kan, senyum Rara sangat manis. Aku merindukan
senyum Rara, Bu! Pulanglah, mungkin hanya Ibu yang bisa membuatnya tersenyum
kembali. Do’akan aku lulus dalam Ujian Nasional nanti. Aku akan berusaha
semampuku.
Air mataku menetes membaca tulisan
terakhir di buku harian Kak Mira. Benarkah selama ini aku terlalu kejam pada
Kak Mira? Selama ini, aku tidak pernah mau tahu tentang Kak Mira. Padahal, dia
adalah kakak yang baik. Kalau aku pernah bilang bahwa adik-adikku tidak boleh
meniru Kak Mira, kali ini aku menarik ucapan itu. Dalam hati, aku pun berterima
kasih pada Ibu yang telah melahirkan Kak Mira. Sambil mengusap air mata, aku
mulai menulis karanganku.
Ibu, berbahagialah di mana pun
engkau berada. Aku tidak pernah tahu, apa alasan Ibu meninggalkan kami. Terima
kasih telah melahirkan Kak Mira untuk menjagaku. Tanpa Ibu, aku tidak munkin
memiliki Kak Mira di dunia ini. Aku sudah tidak marah, Bu! Maafkan aku, kalau
selama ini aku sudah marah pada Ibu. Kak Mira sangat mirip dengan Ibu. Kebaikan
dan kesabarannya sering mengingatkanku pada Ibu. Entahlah, apa jadinya
hari-hariku kalau tidak ada Kak Mira di dunia ini. Dia banyak sekali
membantuku. Sekali lagi terimakasih, Ibu. Berkat Ibu, anak-anakmu terlahir di
dunia ini.
Sekarang hatiku menjadi lega. Dalam
hati, aku berjanji akan membantu mringankan beban Kak Mira. Kalau kami saling
membantu dan berbagi waktu, prestasi Kak Mira tidak akan seburuk itu. Dia harus
lulus ujian! Dan satu lagi, dia berhak mendapatkan senyumku.
Kak Mira terheran-heran ketika
sepulang sekolah, tiba-tiba aku memeluknya, meminta maaf, dan berterimakasih
padanya. Ssstt! Jangan bilang-bilang kalau aku sudah membaca buku hariannya.
Nanti dia malu!
Ah, ternyata hari-hari jadi begitu
indah ketika aku tersenyum. Orang-orang di sekitarku pun tentunya ikut bahagia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar