Selasa, 01 Januari 2013

Cerpen Anak



SENYUM UNTUK KAK MIRA
Oleh : Qoniatul Maghfiroh

            Hari minggu ini, aku sangat kesal. Kak Mira menyuruhku membantunya mencuci baju. Padahal tugasku dari sekolah sangat banyak.andaikan ada Ibu di sini, tentu aku tidak perlu repot-repot membantu Kakak. Aku benci Ibu. Dia meninggalkan kami begitu saja tanpa kabar, sejak dua tahun yang lalu. Aku, Bapak, Kak Mira, dan dua orang adik kembarku, Riffa dan Raffi.
            Namaku Rara Selviana, duduk di kelas lima. Kak Mira sudah SMP kelas tiga, dan dua adik kembarku masih SD kelas dua. Selain bermain, aku harus banyak belajar! Bukankah tugas seorang siswa itu hanya belajar? Aku pernah mendengar itu dari guruku. Bagiku, tidak boleh ada peringkat dua dalam raporku.
            Di kelas, teman-teman mengenalku sebagai anak yang pendiam dan susah tersenyum. Menurutku, buat apa banyak bicara? Buat apa tersenyum? Aku tidak bahagia. Jadi, aku tidak mau berbohong soal perasaanku. Yang penting, aku pintar dan tidak ada teman-teman yang menyaingi nilai-nilaiku. Apakah menurutmu aku sombong?
            Jika tidak karena kasihan pada Bapak yang bekerja seharian sebagai petugas kebersihan, aku tidak sudi membantu Kak Mira. Sebagai pengganti Ibu, dia seharusnya yang bertanggung jawab mengurus kami.
            Setahuku, nilai-nilai rapor Kak Mira tidak pernah bagus. Angka-angkanya selalu pas-pasan. Paling bagus, delapan. Itu pun hanya satu dua. Kak Mira payah, dia tidak bisa memberikan contoh yang baik pada adik-adiknya. Riffa dan Raffi tidak boleh meniru Kak Mira. Mereka juga harus bisa berprestasi seperti aku. Kalu ditanya pekerjaan rumah apa yang paling senang aku lakukan? Jawabku pasti menemani adik-adikku belajar. Karena cita-citaku ingin menjadi seorang guru.
            “Rara! Cepat cuci bajumu! Nanti kalau kesiangan cucian tidak akan kering!” teriakan Kak Mira dari dapur membuyarkan lamunanku. Memang, kalau sore biasanya hujan. Tetapi aku, kan, malas!
            Aku lihat Kak Mira sangat sibuk di dapur. Dia terbiasa bangun lebih pagi untuk membuatkan kami sarapan. Aku melewatinya begitu saja dengan wajah cemberut.
            “Selamat pagi, adik cantik! Tidak mau sarapan dulu?” tanya Kak Mira.
            “Tidak, aku belum lapar,” jawabku berbohong. Padahal aku sudah lapar.
            “Ya sudah, Kakak tunggu, ya?”
            Aku hanya diam.
            “Ayolah, jangan cemberut begitu. Kan, hanya cucianmu saja. Tidak banyak kok, please.. bantu Kakak, ya?” pinta Kak Mira memelas. Mau tidak mau, akhirnya aku pun mencuci.
            Sebenarnya, Kak mira itu baik, jarang sekali marah padaku. Sifatnya yang penyabar sangat mirip dengan Ibu. Huh, hatiku sakit kalau ingat Ibu. Dulu, aku selalu membangga-banggakan Ibuku yang cantik, baik, dan penyayang. Tetapi sekarang tidak, karena Ibu jahat telah meninggalkan kami!
            Hari Senin, ada pelajaran bahasa Indonesia. Bu Rida memberikan tugas mengarang satu paragraf dengan tema ‘Ibu’. Hari Senin depan, tugas itu harus dikumpulkan. Nah, aku bingung! Meskipun hanya satu paragraf, tidak mungkin aku menuliskan tentang kebencianku terhadap Ibu. Biasanya, nilai mengarangku selalu medapat sembilan. Kata Bu Rida, aku berbakat menulis. Sekarangapa yang harus aku tulis?
            Pulang sekolah, Riffa dan Raffi sudah menungguku untuk makan siang. Mereka pulang duluan, sedangkan Kak Mira belum pulang. Katanya ada les pelajaran tambahan. Karena aku amsih belum lapar, maka aku hanya menyiapkan makanan untuk dua adikku itu. Kemudian, aku bergegas masuk ke kmar dan berganti pakaian.
            Ketika aku menata buku, secara tak sengaja aku menemukan buku harian Kak Mira. Aneh! Sebelumnya, aku tidak pernah tahu kalau Kak Mira punya buku harian. Aku tidak pernah tahu kalau Kak Mira punya buku harian. Aku tidak pernah melihatnya. Karena penasaran, aku pun membuka dan membacanya.
            Ibu, kapan Ibu pulang? Pulanglah, aku tidak pernah membenci Ibu. Karena bagaimanapun, Ibu adalah orang yang telah melahirkanku. Tanpa Ibu, aku tidak bisa terlahir di dunia ini.
            Sekarang, aku sudah kelas 3 SMP, sebentar lagi akan Ujian Nasional. Do’akan aku, Bu! Aku tidak bisa banyak belajar karena harus mengurus adik-adik di rumah. Rara jarang mau membantuku, sementara Riffa dan Raffi masih kecil. Tetapi, syukurlah, Rara selalu membuatku bangga. Prestasinya tidak pernah menurun. Dia sangat terpukul dengan kepergian Ibu.
            Sejak Ibu pergi, dia kehilangan senyumnya. Padahal, Ibu tahu, kan, senyum Rara sangat manis. Aku merindukan senyum Rara, Bu! Pulanglah, mungkin hanya Ibu yang bisa membuatnya tersenyum kembali. Do’akan aku lulus dalam Ujian Nasional nanti. Aku akan berusaha semampuku.
            Air mataku menetes membaca tulisan terakhir di buku harian Kak Mira. Benarkah selama ini aku terlalu kejam pada Kak Mira? Selama ini, aku tidak pernah mau tahu tentang Kak Mira. Padahal, dia adalah kakak yang baik. Kalau aku pernah bilang bahwa adik-adikku tidak boleh meniru Kak Mira, kali ini aku menarik ucapan itu. Dalam hati, aku pun berterima kasih pada Ibu yang telah melahirkan Kak Mira. Sambil mengusap air mata, aku mulai menulis karanganku.
            Ibu, berbahagialah di mana pun engkau berada. Aku tidak pernah tahu, apa alasan Ibu meninggalkan kami. Terima kasih telah melahirkan Kak Mira untuk menjagaku. Tanpa Ibu, aku tidak munkin memiliki Kak Mira di dunia ini. Aku sudah tidak marah, Bu! Maafkan aku, kalau selama ini aku sudah marah pada Ibu. Kak Mira sangat mirip dengan Ibu. Kebaikan dan kesabarannya sering mengingatkanku pada Ibu. Entahlah, apa jadinya hari-hariku kalau tidak ada Kak Mira di dunia ini. Dia banyak sekali membantuku. Sekali lagi terimakasih, Ibu. Berkat Ibu, anak-anakmu terlahir di dunia ini.
            Sekarang hatiku menjadi lega. Dalam hati, aku berjanji akan membantu mringankan beban Kak Mira. Kalau kami saling membantu dan berbagi waktu, prestasi Kak Mira tidak akan seburuk itu. Dia harus lulus ujian! Dan satu lagi, dia berhak mendapatkan senyumku.
            Kak Mira terheran-heran ketika sepulang sekolah, tiba-tiba aku memeluknya, meminta maaf, dan berterimakasih padanya. Ssstt! Jangan bilang-bilang kalau aku sudah membaca buku hariannya. Nanti dia malu!
            Ah, ternyata hari-hari jadi begitu indah ketika aku tersenyum. Orang-orang di sekitarku pun tentunya ikut bahagia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar