Rabu, 02 Januari 2013

Cerpen Remaja



LADUNI
Oleh: Qoniatul maghfiroh
Menghitung detak-detak jam yang terus berputar. Berharap putarannya semakin melambat.  Hatiku berdesir-desir. Keringat dingin mulai membanjiri telapak tangan dan dahiku. Sekarang sudah sampai nomor absen keempat belas. Tiga nomor lagi Ustadz Rozaq akan memanggilku. Memberiku kitab Fathul Qorib, kemudian menyuruhku membaca dan menerjemahkannya. Entah, kali ini aku akan berhasil atau tidak. Aku sudah belajar sekuat tenaga. Mencoba menghafal lafal dan terjemahan beberapa Bab. Tapi percuma, beliau tidak pernah memberi tahu terlebih dahulu Bab mana atau halaman berapa yang akan disuruh membaca.
            Duduk di bangku sudut kanan paling belakang. Adalah Gus Kholis. Berbanding terbalik denganku. Dia malah enak-enakan tidur. Tangan dan kepala berselonjor ke bangku.  Air liurnya  menetes. Begitu damai tidurnya. Menghadapi Ustadz Rozaq bukanlah suatu ancaman baginya. Tanpa susah-susah belajar, dia sudah pasti akan bisa.
            “Nomor absen delapan belas, Muhammad Sholihuddin, segera maju ke depan!” Akhirnya Ustadz Rozaq memanggil namaku. Dengan lutut lemas dan tak bertenaga aku berjalan gontai ke arah beliau. “Buka halaman empat puluh sembilan, baris ketiga!”
            Bismillahi, kelawan nyebut asmane Allah, Ar Rohmani, Dzat kang welas asih ing dalem dunyo lan akherat, Ar Rohiimi, tur Dzat kang welas asih ing dalem akherat beloko…”
(Bismillahi, dengan menyebut nama Allah, Ar Rohmani, Dzat yang Maha Pengasih di dunia dan akhirat, Ar Rohiimi, juga Dzat yang Maha Penyayang di akhirat saja). Kemudian senyap. Aku tidak bisa melanjutkan kalimatku. Hanya Basmalah yang bisa kubaca.
            “Ayo, lanjutkan!” seru Ustadz Rozaq. Semua mata memandangku dengan berbagai macam ekspresi. Kucoba merangkai harakat untuk huruf-huruf Arab yang berderet di atas kertas kuning itu. Namun aku tetap tidak bisa. Bahkan kulihat huruf-huruf itu malah berhamburan, keluar dari barisan-barisannya. Melompat-lompat tanpa satupun dapat kutangkap. Dan seperti biasa, aku dihukum berdiri di depan kelas hingga jam pelajaran berganti. Sedangkan Gus Kholis, bangun dengan wajah tanpa dosa begitu namanya dipanggil. Mengelap air liur, kemudian membaca kitab itu tanpa kesulitan sama sekali. Sungguh, bagiku Tuhan tidak adil.
            Para santri menyebut apa  yang dialami oleh Gus Kholis itu adalah pengaruh Ilmu Laduni. Ilmu yang didapat langsung dari Allah melalui sebuah Ilham. Jadi tidak perlu susah-susah belajar.  Katanya hal ini wajar. Kiai Mahsun, Abahnya Gus kholis adalah seorang Kiai sepuh yang mempunyai wibawa tinggi. Konon Ilmu Laduni hanya bisa didapat oleh orang-orang yang sangat dekat dengan Allah. Barangkali Gus Kholis itu terkena imbas oleh karomah Abahnya.
            “Apakah Ilmu Laduni itu bisa di pelajari, Kang?” suatu saat aku bertanya pada Kang Hasan. Seorang santri senior di pesantren ini.
            “Aku tidak tahu, yang aku tahu Ilmu Laduni atau Ilmu Kasyaf itu hanya diberikan pada hamba-hamba Allah yang terpilih. Mereka adalah orang-orang yang takut kepada Allah, mengamalkan ilmu yang diketahui, tidak mencintai dunia, suka berdo’a dan berdakwah. Kenapa tiba-tiba sampeyan bertanya seperti itu? Iri sama Gus Kholis ya? Sudah, sampeyan belajar saja yang rajin. Sebongkah batu saja bisa berlubang jika ditetesi air terus-menerus, apalagi otak manusia, jika dipakai belajar terus menerus, pasti akan ada hasilnya,” jawab Kang Hasan seraya menceramahiku. Rupanya dia bisa membaca pikiranku, kalau aku juga ingin punya Ilmu Laduni.
            Dalam hati aku merenungi kata-kata Kang Hasan. Bukan di bagian dia menyuruhku belajar. Tapi bagian dimana dia menyebutkan kriteria hamba Allah yang mendapatkan Ilmu itu. Dalam beberapa hal, menurutku, Gus Kholis belum termasuk hamba yang sangat sholeh. Dia seperti kebanyakan santri lain. Kadang-kadang membolos tidak ikut mengaji, mencuri-curi kesempatan untuk merokok, dan tak jarang pula misuh kalau sedang bercanda. Tidak ada hal yang istimewa. Bahkan dia cenderung bandel dan cengengesan. Aku jadi bertanya-tanya, apakah Ilmu Laduni itu bisa diturunkan dari Orangtua? Beruntung benar nasibnya. Kadang timbul niatku untuk bertanya sendiri kepada Gus Kholis. ’Benarkah desas-desus yang beredar itu? Jika tidak benar, bagaimana dia bisa menerjemahkan bermacam-macam kitab gundul? Padahal  dia jarang mengikuti pengajian, tidak pernah sekalipun terlihat belajar. Kalau bukan Ilmu Laduni, Ilmu apa yang dia punya?’ pertanyaan-pertanyaan seperti itu selalu timbul tenggelam. Timbul ketika Gus Kholis tidak ada, dan tenggelam ketika berhadapan langsung dengannya.  Rasa sungkanku masih terlalu tinggi untuk dikalahkan.
                                                                        ***

                Malam yang dingin dengan tiupan angin lumayan kencang. Aku masih duduk-duduk bersandar di tiang teras kamar. Memandang langit yang menggendong bulan sabit dalam pelukannya. Bintang bersinar sedikit-sedikit. Sebagian mengintip-intip dari sela-sela rumpun bambu. Saat ini mungkin sudah pukul sebelas. Aku tidak tahu persis karena tidak melihat jam. Banyak santri yang belum tidur. Ada yang mengaji Al Qur’an, hafalan imriti, belajar, dan tidak sedikit pula yang bergerombol-gerombol sekedar bergurau dan duduk santai. Hanya aku yang tidak punya kegiatan selain melamun seperti ini.
”Jangan melamun saja, Shol, nanti kerasukan jin barongan lho! Gabung sama kita di sini, Acong punya cerita menarik!” teriak Habib dari depan kamar Al Ghozali yang terletak di paling ujung. Ada sekitar delapan orang di sana, semuanya teman-teman sekelasku.
            ”Yo, suwun Rek, sudah terlanjur asyik. Lanjut saja ceritanya!” jawabku juga setengah berteriak. Aku sedang malas bergurau bersama mereka. Dadaku bergemuruh. Cuaca buruk melanda hati dan pikiranku. Satu bulan lagi ujian Dinniyah berlangsung. Aku tidak yakin nanti  bisa melewatinya dengan baik. Nahwu, Shorof, Balaghoh, Manteq, Faroidl, Akhlaq, Fiqih, Tafsir, dan Hadits. Semua pelajaran itu sangat rumit bagiku.
Ujian semester lalu, aku banyak mendapatkan remidi akibat nilaiku rata-rata maksimal empat. Bapakku marah habis-habisan. Kalau sedang marah, tak jarang Bapak mengungkit-ungkit, betapa sengsaranya beliau bekerja siang dan malam. Hanya karena ingin anaknya masuk pesantren dan tetap bertahan di sana sampai ujian akhir. Aku yang kerjanya hanya belajar saja masak tidak beres. Jika nilaiku buruk lagi dan tidak naik kelas, maka bukan tidak mungkin bagi Bapak untuk memboyongku pulang dan menyuruhku menggembala kambing. Entah apa salahku? Padahal aku juga sudah belajar seperti teman-teman pada umumnya. Kenapa ilmu-ilmu itu tidak mau menempel di otakku? Apa ada uang haram dari Bapak yang dikirimkan untukku? Astaghfirullah! Aku tidak boleh su’udzon seperti ini.       
Angin semakin kencang bertiup, membuat rumpun bambu di samping halaman pesantren berderak-derak. Meliuk-liuk seakan mau roboh. Kurapatkan sarung yang membungkus tubuhku. Sepertinya malam ini aku tidur di musholla saja. Di sana satu-satunya tempat yang memiliki karpet hangat. Kulitku tidak boleh bersetubuh dengan ubin kamar kali ini. Aku tidak mau masuk angin.
                                                                        ***
            Waktu berjalan terus tanpa mau mundur. Hampir seminggu aku menjadi seorang yang pemurung. Rasa pesimisku semakin membuatku tidak konsentrasi belajar. Kubuka kalender yayasan yang menempel di dinding kamar. Tanggal ujian sudah kulingkari dengan spidol merah. Kurang tiga minggu lagi. Waktuku semakin sempit. Hmm! Baiklah, aku tidak boleh berdiam diri terus-menerus seperti ini. Aku harus berbuat sesuatu. Aku harus menemui Gus Kholis.
            Kutelusuri sudut demi sudut pesantren. Dari musholla, seluruh kamar santri, kamar mandi, sumur, bahkan tempat jemuran. Namun yang kucari tidak ada. Kemana perginya Gus Kholis saat jam tidur siang begini? Aku juga sempat bertanya pada teman-teman lain. Tidak ada satupun yang tahu. Pesantren ini tidak terlalu besar, dan tidak ada tempat tersembunyi. Seharusnya tidak sulit jika mau mencari seorang saja. Kecuali dia sedang pergi keluar. Apa? Pergi keluar? Menurut peraturan pesantren, para santri dilarang pergi keluar saat jam tidur siang. Semua harus berada di dalam pesantren. Ah, lagi-lagi Gus Kholis melakukan pelanggaran. Dia tidak jera meskipun kepalanya sering kena gundul.
            Capek mencari Gus Kholis. Kuputuskan untuk kembali ke musholla. Di sana, tempat sudah hampir penuh oleh para santri yang tidur berjajar-jajar seperti jemuran ikan asin. Belum sempat kurebahkan tubuhku. Kulihat seseorang mengendap-endap masuk dan mencari sela untuk tidur. Nah, bukankah itu Gus Kholis?
            ”Gus! Disini masih kosong,” aku menunjukkan tempat yang agak longgar disampingku. Lalu dia berjalan hati-hati ke arahku. Khawatir menginjak orang tidur. Begitu dia dekat, kucium bau rokok yang menyengat dari baju dan nafasnya.
            ”Ada apa? Bau rokok, ya? Ffuuhh..” dia bertanya kemudian meniupkan bau mulutnya ke wajahku. Kurang ajar sekali.
            ”Hhff.. Iya, dari tadi saya mencari-cari sampeyan lho, Gus! Saya ingin bertanya sesuatu. Begini, langsung saja. Mmm.. Apa benar sampeyan itu.. mm.. sampeyan itu.. punya Ilmu Laduni?” tanyaku agak ragu-ragu. Tiba-tiba wajahnya berubah menjadi sangat serius. Aku tidak pernah melihat wajahnya seserius ini.
            ”Wallahu A’lam!” jawabnya singkat dan sama sekali tidak memberikan pencerahan.
            ”Saya ini serius lho, Gus! Mbok ya tolong di jawab dengan serius juga,” aku masih terus mendesak.
            ”Buat apa sampeyan bertanya seperti itu?”
            ”Saya kan, juga kepingin pintar seperti sampeyan. Tolong ajarkan saya cara mendapatkannya, Gus. Kalau punya Ilmu seperti itu, mbok ya di tular-tularkan sama saya.”
            Sampeyan ini kok aneh-aneh, saya ini juga tidak bisa apa-apa. Saya hanya mendapatkan Ilmu yang di turunkan Abah kepada saya. Tidak Lebih.”
            ”Berarti benar bahwa Ilmu Laduni itu bisa di turunkan? Sungguh beruntung sampeyan, Gus.. Tidak dhedhel seperti saya ini,” aku semakin merasa rendah diri saja.
            ”Bukan, bukan begitu. Tapi ngomong-ngomong, apa sampeyan benar-benar ingin punya Ilmu Laduni?”
            Ada sedikit harapan terkembang, ”Benar, Gus.. Saya ingin sukses dalam ujian Dinniyah nanti. Bapak mengancam akan memboyong saya pulang jika tidak naik kelas. Di rumah, saya di suruh angon wedhus!”
            ”Hahahaa.. lucu juga Bapak sampeyan itu. Syarat untuk mendapatkan Ilmu Laduni itu berat, lho.. Apa sampeyan sanggup?”
            Mendengar kalimat itu, hatiku agak sedikit lapang. ”Saya akan berusaha sebisa mungkin untuk melakukan syaratnya, Gus.. Saya sudah tidak punya jalan lain.” sejurus kemudian kulihat Gus Kholis tampak berfikir keras. Sepertinya dia mempertimbangkan kemauan kerasku.
            ”Karena sampeyan memaksa, baiklah, dengarkan baik-baik, jangan disela! Saya tidak akan mengulangi ucapan saya sampai dua kali. Pertama, sampeyan harus puasa mutih selama tujuh hari tujuh malam. Kedua, setiap malam hanya boleh tidur selama dua jam. Ketiga, sholat lima waktu harus berjama’ah, dan setiap selesai sholat baca surat yasin sebanyak tujuh kali. Keempat, jangan tinggalkan sholat tahajjud dan baca wirid sebanyak yang sampeyan hafal sampai adzan subuh berkumandang. Yang terakhir, ketika malam telasan sampeyan tidak boleh tidur sama sekali. Adzan maghrib hanya boleh berbuka segelas air putih. Kemudian melekan di tepi sungai belakang pondok. Tidak boleh mengajak siapa-siapa. Harus sendirian. Bacalah dzikir terus menerus sampai adzan subuh berkumandang. Sudah, itu saja! Ada yang ditanyakan lagi? Satu pertanyaan saja..”
            Aku berfikir sejenak, ”Kenapa harus melekan di tepi sungai, Gus? Sendirian, lagi..”
            ”Apakah sampeyan mau Ilham itu didengar orang lain? Pokoknya tunggu saja sampai subuh sambil membaca dzikir terus-menerus. Nanti akan ada suara-suara ghoib yang akan membisiki sampeyan.”
            ”Begitu, ya? Terimakasih, Gus.. Insya Allah akan saya laksanakan dengan sebaik-baiknya,” aku tersenyum sangat puas. Kupandangi langit-langit musholla dengan hati berbunga-bunga. ”Gus, sekali lagi, terimakasih sebelumnya. Saya...” belum sempat kulanjutkan bicara, Gus Kholis sudah tidur dengan begitu pulasnya. 
                                                                        ***
            Puasa mutih artinya ketika sahur dan berbuka hanya diperbolehkan makan nasi putih dan minum air putih saja. Maka otomatis aku dilarang minum kopi karena warnanya hitam. Ternyata syarat itu tidak semudah yang aku bayangkan. Berat rasanya mengingat setiap malam aku hanya diperbolehkan tidur selama dua jam. Siang harinya, bisa dipastikan aku mengantuk ketika kegiatan-kegiatan pesantren berlangsung. Tubuhku sangat letih. Tidak ada asupan gizi sama sekali dari makanan-makananku. Namun hal itu tidak menyurutkan semangatku untuk berhenti. Aku harus fokus dengan tujuanku.
            Akibat sering mengantuk dan tertidur di kelas. Aku semakin tertinggal banyak pelajaran. Lagi-lagi Ustadz Rozaq menghukumku. Bahkan ustadz-ustadz yang lain juga memberiku sangsi ketika mengetahuiku tertidur saat jam pelajarannya berlangsung. Kuterima  hukuman demi hukuman dengan pasrah dan lapang dada. Toh pada saatnya nanti aku akan mendapatkan imbalannya. Aku akan membuat mereka tercengang dengan kecerdasanku yang tiba-tiba. Ibarat pepatah lama mengatakan ’berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian, bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian’.
            Singkat cerita, setelah melewati berbagai macam cobaan dan terpaan yang menghadang. Akhirnya aku dipertemukan juga dengan malam telasan. Aku sangat penasaran. Bagaimana sih, suara Ilham itu? Dia bersuara laki-laki tua yang berat, atau bersuara lembut perempuan? Apakah suara-suara ghoib itu akan menampakkan wujudnya? Jika laki-laki tua, apa setua Dumbledore dalam film Harry Potter? Jika perempuan, apa secantik Pretty Zhinta dalam film-film India? Imajinasiku melambung di atas awan. Biar pikiranku tidak semakin melantur kemana-mana, aku membaca dzikir dan Sholawat Nabi sembari menunggu bedug maghrib bertalu. Di depanku sudah tersedia segelas air putih yang akan melepas dahagaku. Sebenarnya tubuhku sedikit demam. Tapi aku tidak memperdulikannya. Aku tidak boleh menyerah di perjuangan terakhirku. Aku yakin, ini pasti akan mudah untuk dilewati.
            ”Allahu Akbar.. Allahu Akbar..” tak kuasa aku menahan tangis mendengar adzan maghrib berkumandang. Ya allah, aku hampir berhasil.  Segera kuusap air mata  dan kuminum segelas air putih di depanku pelan-pelan. Aku sangat menikmatinya. Setelah ini aku akan melanjutkan puasa lagi hingga subuh menjelang. Sudah kupersiapkan pakaian terbaikku. Kopyah putih, baju koko putih dan sarung berwarna biru bermotif kotak-kotak. Aku harus tampil sempurna pada malam bersejarah dalam hidupku. Malam inilah yang akan merubah hidupku  dari seorang Sholi yang bodoh menjadi seorang Sholi yang sangat cerdas.
            Pengajian malam baru berakhir pada pukul sepuluh lebih tiga puluh menit. Tanpa menunggu ucapan salam penutup dari Ustadz, aku bergegas menyelinap keluar. Pintu belakang pesantren sudah dikunci. Terpaksa aku harus melompat lewat pagar. Barang bawaanku yakni sajadah lebar, tasbih, korek api, lilin dan obat nyamuk bakar, sudah kubungkus plastik hitam. Aku benar-benar sudah siap dengan apapun yang bakal terjadi. Tidak peduli dengan kabar santer yang beredar. Bahwa sungai di belakang pondok itu tempatnya sangat angker.
            Bugh..! Aku terjatuh cukup keras. Kakiku terkilir sedikit. Kegelapan segera menyergapku. Kunyalakan lilin (sayang aku tidak punya senter) untuk menerangi jalan. Jarak antara pagar pembatas pesantren dan bibir sungai sekitar lima puluh meter. Jalan setapak menuju kesana melewati tempat pembuangan sampah dan kebun singkong yang sangat lebat. Di sela- sela kebun singkong, tumbuh juga beberapa pohon pisang. Dengan sedikit terpincang-pincang, kulanjutkan perjalananku. Hembusan angin seringkali membuat nyala lilinku mati untuk kemudian kunyalakan lagi.
            Sesampainya aku di tepi sungai yang dimaksud, kugelar sajadahku di tempat yang agak landai dan lebar. Tempat itu persis di bawah pohon asam yang menjulang rindang. Para nyamuk dengan suka cita menyambut kehadiranku. Nyanyiannya berdengung-dengung. Kunyalakan obat nyamuk bakar yang kubawa. Namun asapnya tak dapat menghalau pasukan nyamuk yang begitu banyaknya. Seandainya aku tahu siapa jenderalnya, pasti akan kutangkap dan kubunuh dengan kejam di hadapan mereka. Dengan begitu, pasukan nyamuk yang lain pasti akan mundur dan kabur. Sementara itu tubuhku semakin meriang dan gatal-gatal. Suara-suara jangkrik ramai bersahutan. Seolah menertawaiku yang tersiksa dan kedinginan.
            Detik demi detik berlalu menuju menit demi menit. Menit demi menit berlalu menuju jam demi  jam. Sudah tiga jam aku duduk bersila menunggu. Mulutku sampai pegal membaca berbagai macam do’a dan dzikir. Kulihat jam yang melingkar di pergelangan tanganku. Pukul setengah dua persis. Belum ada tanda-tanda suara-suara ghoib itu muncul. Tenggorokanku kering dan perutku keroncongan. Apakah aku tidak berhasil? Belum. Adzan subuh belum berkumandang. Aku masih harus terus menunggu. Kesabaranku hanya sedang di uji. Aku harus sholat tahajjud sekarang.
            Kuambil air wudhu di sungai. Airnya sangat dingin membuat semua bulu kudukku berdiri. Maka aku bergegas menyelesaikannya tanpa berlama-lama. Segera kutunaikan sholat tahajjud. Rokaat pertama hingga ketiga, aku masih mampu menyelesaikan dengan sempurna. Giliran tiba di rokaat keempat, rasanya aku sudah tidak sanggup untuk berdiri. Tidak. Aku harus menyelesaikannya sampai salam. Dingin. Angin semakin nakal menghempas-hempas tubuhku. Bersamaan dengan itu, datang ribuan kunang-kunang. Berputar-putar mengelilingi kepalaku. Semakin lama semakin banyak. Kemudian gelap.
                                                                        ***
            Samar-samar kudengar ada suara orang membaca Al Qur’an di sampingku. Suara yang sangat kukenal. Itu adalah suara Gus Kholis.  Perlahan kubuka mata, kepalaku masih pusing. Tenggorokan terasa sangat  gatal dan membuat aku terbatuk. Rupanya aku sudah berada di dalam kamar. Oh, apakah aku berhasil? Aku tidak dapat mengingat satupun bisikan Ghoib yang di janjikan Gus Kholis terhadapku.
            Sampeyan sudah sadar?” suaraku  tidak mau keluar saat akan menjawab pertanyaan darinya. Aku pun hanya mengangguk. ”Sudah, jangan di paksakan untuk menjawab. Minum ini dulu kemudian dengarkan saya”.
Gus Kholis memberiku segelas air putih kemudian melanjutkan pembicaraannya lagi. ”Perlu sampeyan ketahui,sebenarnya saya tidak punya Ilmu Laduni. Dari kecil saya sudah sering ikut Abah mengaji,  jadi kitab-kitab itu memang  sudah tidak asing lagi bagi saya. Sudah melekat di kepala. Mohon maaf sudah membuat sampeyan kecewa. Saya hanya ingin menguji sampeyan tok. Ternyata sampeyan ini bodoh beneran. Bagaimana bisa pintar kalau tidak mau belajar? Ingat hal ini baik-baik. Jika sampeyan mau minta bantuan saya untuk belajar. Datang saja kapan pun sampeyan mau. Insya Allah saya akan bantu. Sudah, sekarang sampeyan lanjutkan istirahatnya. Saya mau mencuci baju dulu.”
Mendengar penjelasan itu, aku hanya diam saja.  Suaraku hilang entah kemana. Rasanya kamar ini semakin lama semakin sempit. Ribuan kunang-kunang datang lagi, semakin lama semakin banyak. Berputar-putar mengelilingi kepalaku. Ah, lagi-lagi gelap.*
                                                                                               
          Lamongan, 19 September 2011


*Teruntuk suamiku tercinta, terimakasih atas segala support dan kasihnya. I lop yu pull.. J
Catatan :

Fathul Qorib : kitab yang mempelajari Ilmu Fiqih.
Sepuh : Tua
Misuh : Berkata kotor
Kitab Gundul : kitab berbahasa Arab yang tidak berharakat.
Barongan : Rumpun bambu
Imriti : Salah satu kitab untuk pelajaran Nahwu.
Suwun, Rek: Terimakasih, Kawan.
Dinniyah : Keagamaan / sekolah khusus untuk santri yang mengajarkan pelajaran-pelajaran kegamaan.
Su’udzon : Berprasangka buruk.
Angon wedhus : Menggembala kambing.
Mondok : Belajar di pesantren.
Dhedhel : Bodoh
Mutih : Putih / Memutih.
Telasan : Terakhir / penghabisan.
Melekan : Terjaga / tidak boleh tidur.

Selasa, 01 Januari 2013

Cerpen Anak



SENYUM UNTUK KAK MIRA
Oleh : Qoniatul Maghfiroh

            Hari minggu ini, aku sangat kesal. Kak Mira menyuruhku membantunya mencuci baju. Padahal tugasku dari sekolah sangat banyak.andaikan ada Ibu di sini, tentu aku tidak perlu repot-repot membantu Kakak. Aku benci Ibu. Dia meninggalkan kami begitu saja tanpa kabar, sejak dua tahun yang lalu. Aku, Bapak, Kak Mira, dan dua orang adik kembarku, Riffa dan Raffi.
            Namaku Rara Selviana, duduk di kelas lima. Kak Mira sudah SMP kelas tiga, dan dua adik kembarku masih SD kelas dua. Selain bermain, aku harus banyak belajar! Bukankah tugas seorang siswa itu hanya belajar? Aku pernah mendengar itu dari guruku. Bagiku, tidak boleh ada peringkat dua dalam raporku.
            Di kelas, teman-teman mengenalku sebagai anak yang pendiam dan susah tersenyum. Menurutku, buat apa banyak bicara? Buat apa tersenyum? Aku tidak bahagia. Jadi, aku tidak mau berbohong soal perasaanku. Yang penting, aku pintar dan tidak ada teman-teman yang menyaingi nilai-nilaiku. Apakah menurutmu aku sombong?
            Jika tidak karena kasihan pada Bapak yang bekerja seharian sebagai petugas kebersihan, aku tidak sudi membantu Kak Mira. Sebagai pengganti Ibu, dia seharusnya yang bertanggung jawab mengurus kami.
            Setahuku, nilai-nilai rapor Kak Mira tidak pernah bagus. Angka-angkanya selalu pas-pasan. Paling bagus, delapan. Itu pun hanya satu dua. Kak Mira payah, dia tidak bisa memberikan contoh yang baik pada adik-adiknya. Riffa dan Raffi tidak boleh meniru Kak Mira. Mereka juga harus bisa berprestasi seperti aku. Kalu ditanya pekerjaan rumah apa yang paling senang aku lakukan? Jawabku pasti menemani adik-adikku belajar. Karena cita-citaku ingin menjadi seorang guru.
            “Rara! Cepat cuci bajumu! Nanti kalau kesiangan cucian tidak akan kering!” teriakan Kak Mira dari dapur membuyarkan lamunanku. Memang, kalau sore biasanya hujan. Tetapi aku, kan, malas!
            Aku lihat Kak Mira sangat sibuk di dapur. Dia terbiasa bangun lebih pagi untuk membuatkan kami sarapan. Aku melewatinya begitu saja dengan wajah cemberut.
            “Selamat pagi, adik cantik! Tidak mau sarapan dulu?” tanya Kak Mira.
            “Tidak, aku belum lapar,” jawabku berbohong. Padahal aku sudah lapar.
            “Ya sudah, Kakak tunggu, ya?”
            Aku hanya diam.
            “Ayolah, jangan cemberut begitu. Kan, hanya cucianmu saja. Tidak banyak kok, please.. bantu Kakak, ya?” pinta Kak Mira memelas. Mau tidak mau, akhirnya aku pun mencuci.
            Sebenarnya, Kak mira itu baik, jarang sekali marah padaku. Sifatnya yang penyabar sangat mirip dengan Ibu. Huh, hatiku sakit kalau ingat Ibu. Dulu, aku selalu membangga-banggakan Ibuku yang cantik, baik, dan penyayang. Tetapi sekarang tidak, karena Ibu jahat telah meninggalkan kami!
            Hari Senin, ada pelajaran bahasa Indonesia. Bu Rida memberikan tugas mengarang satu paragraf dengan tema ‘Ibu’. Hari Senin depan, tugas itu harus dikumpulkan. Nah, aku bingung! Meskipun hanya satu paragraf, tidak mungkin aku menuliskan tentang kebencianku terhadap Ibu. Biasanya, nilai mengarangku selalu medapat sembilan. Kata Bu Rida, aku berbakat menulis. Sekarangapa yang harus aku tulis?
            Pulang sekolah, Riffa dan Raffi sudah menungguku untuk makan siang. Mereka pulang duluan, sedangkan Kak Mira belum pulang. Katanya ada les pelajaran tambahan. Karena aku amsih belum lapar, maka aku hanya menyiapkan makanan untuk dua adikku itu. Kemudian, aku bergegas masuk ke kmar dan berganti pakaian.
            Ketika aku menata buku, secara tak sengaja aku menemukan buku harian Kak Mira. Aneh! Sebelumnya, aku tidak pernah tahu kalau Kak Mira punya buku harian. Aku tidak pernah tahu kalau Kak Mira punya buku harian. Aku tidak pernah melihatnya. Karena penasaran, aku pun membuka dan membacanya.
            Ibu, kapan Ibu pulang? Pulanglah, aku tidak pernah membenci Ibu. Karena bagaimanapun, Ibu adalah orang yang telah melahirkanku. Tanpa Ibu, aku tidak bisa terlahir di dunia ini.
            Sekarang, aku sudah kelas 3 SMP, sebentar lagi akan Ujian Nasional. Do’akan aku, Bu! Aku tidak bisa banyak belajar karena harus mengurus adik-adik di rumah. Rara jarang mau membantuku, sementara Riffa dan Raffi masih kecil. Tetapi, syukurlah, Rara selalu membuatku bangga. Prestasinya tidak pernah menurun. Dia sangat terpukul dengan kepergian Ibu.
            Sejak Ibu pergi, dia kehilangan senyumnya. Padahal, Ibu tahu, kan, senyum Rara sangat manis. Aku merindukan senyum Rara, Bu! Pulanglah, mungkin hanya Ibu yang bisa membuatnya tersenyum kembali. Do’akan aku lulus dalam Ujian Nasional nanti. Aku akan berusaha semampuku.
            Air mataku menetes membaca tulisan terakhir di buku harian Kak Mira. Benarkah selama ini aku terlalu kejam pada Kak Mira? Selama ini, aku tidak pernah mau tahu tentang Kak Mira. Padahal, dia adalah kakak yang baik. Kalau aku pernah bilang bahwa adik-adikku tidak boleh meniru Kak Mira, kali ini aku menarik ucapan itu. Dalam hati, aku pun berterima kasih pada Ibu yang telah melahirkan Kak Mira. Sambil mengusap air mata, aku mulai menulis karanganku.
            Ibu, berbahagialah di mana pun engkau berada. Aku tidak pernah tahu, apa alasan Ibu meninggalkan kami. Terima kasih telah melahirkan Kak Mira untuk menjagaku. Tanpa Ibu, aku tidak munkin memiliki Kak Mira di dunia ini. Aku sudah tidak marah, Bu! Maafkan aku, kalau selama ini aku sudah marah pada Ibu. Kak Mira sangat mirip dengan Ibu. Kebaikan dan kesabarannya sering mengingatkanku pada Ibu. Entahlah, apa jadinya hari-hariku kalau tidak ada Kak Mira di dunia ini. Dia banyak sekali membantuku. Sekali lagi terimakasih, Ibu. Berkat Ibu, anak-anakmu terlahir di dunia ini.
            Sekarang hatiku menjadi lega. Dalam hati, aku berjanji akan membantu mringankan beban Kak Mira. Kalau kami saling membantu dan berbagi waktu, prestasi Kak Mira tidak akan seburuk itu. Dia harus lulus ujian! Dan satu lagi, dia berhak mendapatkan senyumku.
            Kak Mira terheran-heran ketika sepulang sekolah, tiba-tiba aku memeluknya, meminta maaf, dan berterimakasih padanya. Ssstt! Jangan bilang-bilang kalau aku sudah membaca buku hariannya. Nanti dia malu!
            Ah, ternyata hari-hari jadi begitu indah ketika aku tersenyum. Orang-orang di sekitarku pun tentunya ikut bahagia.